x Klub Sastra Bentang: January 2006

Friday, January 27, 2006

Pengumuman Pemenang Kuis Bulan Januari

Setelah melalui penilaian dari 3 editor dan 1 proofreader Bentang, maka untuk pemenang kuis bulan Januari jatuh pada HERMAN ARDIYANTO dengan pertimbangan:

1. Pilihan diksi beragam dan luas.
2. Luwes dan puitis.
3. Pengolahan kalimat lebih pas dan mudah dimengerti.

Namun begitu ada dua catatan untuk Herman Ardiyanto yakni:

1. Keakuratan masih harus lebih ditingkatkan
2. Masih lemah dalam pemenggalan kalimat.

Dari 12 peserta yang mengirimkan hasil editannya, sebagian besar sudah cukup bagus. Namun karena pemenangnya hanya satu, maka kami memilih Herman Ardiyanto sebagai pemenang bulan ini.
Selamat kepada Sdr. Herman Ardiyanto!


*makan-makanya kapan?...:)

Monday, January 23, 2006

Buku Baru: Satu Pertanyaan Dari Selatan




Judul Buku: Satu Pertanyaan Dari Selatan
Editor: Putu Liza, dkk
Tebal: xxvi + 242 halaman
Cetakan: Pertama, Januari 2006
Format: 13 cm x 20,5 cm
ISBN: 979-3062-82-7
Harga: Rp. 34.000,-
Lini: Bentang


Sinopsis

Di seluruh dunia konon tidak ada dua negara bertetangga yang lebih berbeda daripada Australia dan Indonesia. Ternyata perbedaan-perbedaan ini tidak menjadi kendala bagi para pengarang muda Indonesia. Dalam bunga rampai ini sosok manusia Indonesia tersorot tajam dilatarbelakangioleh kebudayaan Australia. Australia muncul bukan hanya sebagai latar belakang eksotik yang kadangkala garang, melainkan juga sebagai tantangan yang harus dihadapi, sebagai medan pengalaman yang menempa jiwa, sebagai pencetus kesadaran akan arti keindonesiaan, bahkan sebagai bumi dan masyarakat yang mampu dicintai oleh muda-mudi Indonesia. Sebagai orang Australia saya bangga negara saya dapat dijadikan sumber ilham oleh pengarang Indonesia. --- George Quinn, Australian National University (24 November 2005).

Komentar

Perbedaan itu lumrah. Tetapi, memahami, menyikapi dan hidup dalam perbedaan tidak pernah mudah. Maka, pengertian antara dua sistem budaya yang amat berbeda menjadi sesuatu yang mewah. Diperlukan kecerdasan, ketulusan, penghormatan terhadap hidup, dan kebesaran hati untuk itu. Terkadang, diperlukan daya tahan yang lebih untuk mampu menghikmati kesendirian, dan mungkin juga, untuk belajar mencintai hidup dan kehidupan secara lebih dewasa; untuk hanya memberi dan berusaha tidak meminta, untuk mencoba memahami tanpa lebih dulu dimengerti. Meski pun sulit, untuk itulah buku ini ada. Buku ini menjadi sebuah upaya membangun pengertian lintas budaya antara Indonesia dan Australia yang unik dan sangat berharga, karena ditulis bukan oleh para penulis terkenal yang memang terkemuka daya imajinasinya, tetapi oleh mereka yang fasih lantaran langsung mengalaminya. --- Miranda Risang Ayu, kolumnis (7 November 2005).

Saturday, January 07, 2006

DYAH PITALOKA : Senja Di Langit Majapahit

Penulis Hermawan Aksan
Penerbit C/Publishing
Tahun 2005 - Cetakan I
Tebal 326 hal

Siapa yang tak mengenal Gajah Mada, mahapatih Kerajaan Majapahit yang pernah bersumpah tak akan makan buah palapa sebelum seluruh Nusantara bersatu? Kebesaran namanya bukan saja karena sumpahnya itu, tetapi juga karena kepemimpinannya. Namanya tak bisa dilepaskan dari kerajaan besar di Jawa Timur itu, yang kekuasaannya meliputi sebagian Jawa, Bali, dan Sumatra. Majapahit adalah Gajah Mada dan Gajah Mada adalah Majapahit.

Kesetiaan sang Mahapatih kepada kerajaan tak perlu diragukan. Seluruh hidupnya dibaktikan demi kejayaan Majapahit. Baginya, mengabdi kepada kerajaan itu di atas segala-galanya. Lebih penting dari nyawanya sendiri. Dan memenuhi sumpahnya adalah ambisi yang tak bisa ditawar-tawar lagi.

Saat banyak negeri takluk - dengan suka rela ataupun melalui perlawanan - di bawah kebesaran Majapahit, nun di sebelah Barat Jawa, di kaki Gunung Sawal, tersebutlah sebuah kerajaan Sunda dengan rajanya Linggabuana, berdiri bebas merdeka; membuat Gajah Mada penasaran ingin menaklukkannya demi memenuhi ambisinya. Maka, diputarlah otaknya mencari cara yang tepat agar kerajaan tersebut dapat dikuasai.

Ketika itu raja muda Hayam Wuruk masih belum beristri. Banyak sudah utusan dan juru lukis istana dikirim ke negeri-negeri taklukan guna mencari calon permaisuri. Namun, hingga kini tak jua ada yang berkenan di hati Sang Raja.

Kebetulan sekali, Raja Linggabuana memiliki seorang putri jelita yang juga belum menikah. Dialah Dyah Pitaloka; seorang putri yang bukan saja cantik rupa, tetapi juga cantik budi bahasa, cerdas, ramah, baik hati, dan pemberani. Gajah Mada pun menemukan jalan!

Singkat cerita, Hayam Wuruk pun jatuh cinta pada sang putri jelita. Lalu, disampaikanlah lamaran resmi yang diterima dengan segala kebanggaan oleh Prabu Linggabuana. Dyah tak kuasa menolak. Ia tak ingin mengecewakan rama dan bundanya, meski pun sebenarnya ia masih punya cita-cita luhur memajukan kaumnya di negeri Sunda.

Ia ingin, perempuan negerinya tak hanya pandai menjadi istri setia, tetapi juga pandai membaca dan menulis. Ia tak ingin sekadar menjadi seperti Dayang Sumbi atau Purbasari. Ia bermimpi, perempuan Sunda kelak juga bisa memimpin negeri sebagaimana cerita yang ia baca dari negeri-negeri seberang di luar Tanah Sunda.

Namun, apa daya, ia tak mampu menolak nasib yang telah digariskan baginya. Maka, pergilah ia menyongsong masa depannya ke Tanah Jawa.

Ternyata ia bukan sekadar menyerahkan dirinya , tetapi juga mengantarkan nyawanya. Putri Sunda itu mati dengan gagah berani di ujung tusuk kondenya sendiri, bahkan sebelum sampai ke pelaminan. Ia memilih mati bersama ayahanda dan rakyatnya demi membela kehormatan negeri ketimbang harus takluk pada tipu muslihat Gajah Mada yang licik dan keji. Peristiwa ini kemudian dikenal sejarah sebagai Perang Bubat.

Menarik, kisah di balik Perang Bubat yang dituturkan dalam novel Dyah Pitaloka ini. Dikemas dalam fiksi, membuat penulisnya bebas mengembangkan plot cerita dengan menggabungkan fakta dan imajinasi.

Di samping itu, sebagai penggemar wayang, Hermawan Aksan, penulis novel ini, cukup banyak juga mengutip lakon Mahabarata dan Ramayana sebagai ilustrasi dan pengaya cerita.

Berangkat dari obsesi penulisnya yang ingin menampilkan wanita cantik dalam sejarah (Sunda) - di Jawa ada Ken Dedes - maka dipilihlah Dyah Pitaloka dengan karakter hasil rekaannya : bukan hanya cantik tetapi juga cerdas, pemberani, dan penuh gagasan maju. Tentu saja, tokoh Dyah Pitaloka adalah real (fakta), namun soal karakter dan gambaran fisiknya, sepenuhnya hasil imajinasi penulis. Sebab, masih menurut penulisnya, tak ada ditemukan peninggalan berupa patung atau lukisan sosok sang putri jelita ini. Yang ada hanya sekadar gambaran Dyah Pitaloka yang cantik dan manja. Berbeda dengan Ken Dedes, misalnya, yang patungnya masih bisa kita lihat.

Selalu ada risiko dikritik oleh para sejarawan menulis kisah fiksi berdasarkan sejarah. Namun, semestinya kita bisa bersikap objektif dalam memberi penilaian sebuah karya fiksi. Sepanjang tak ada fakta sejarah yang disimpangkan atau diputarbalikkan, kisah tersebut patut kita terima sebagai sebuah upaya memperkaya wawasan dan melihat sejarah dari perspektif berbeda.

Misalnya saja, dalam novel ini, ditampilkan sisi lain Gajah Mada yang licik dan ambisius. Selama ini yang sering kita dengar hanyalah Gajah Mada yang perkasa, pahlawan yang telah mempersatukan Nusantara. Karakter Gajah Mada yang licik dan ambisius, rasanya mungkin saja, mengingat ia seorang panglima perang sebuah kerajaan besar. Tanpa ambisi, mustahil ia mampu meraih kejayaan.

Hari ini kita masih sering menyaksikan hubungan Jawa-Sunda (orang Jawa dan orang Sunda) yang tampak tidak terlalu mulus. Masing-masing pihak mengklaim sebagai "yang lebih tua". Apakah itu bermula dari Perang Bubat ini, yang mengakibatkan Gajah Mada gagal memenuhi sumpahnya dan Negeri Sunda kehilangan raja dan putrinya? Entahlah..

Bagian yang paling menarik, menurut saya, adalah saat Dyah Pitaloka memilih menikam ulu hatinya sendiri dengan patrem, sejenis tusuk konde penghias rambut wanita. Terasa ada unsur pemberontakan (seorang perempuan) di sini. Pilihan patrem - bukan keris atau belati - membuat adegan di akhir cerita ini jadi lebih dramatis dan menyentuh.

Hanya ada yang sedikit terasa berlebihan, yaitu ketika Hayam Wuruk, raja Majapahit yang gagah itu, menangis mengguguk atas kematian calon permaisuri pujaan hati yang bahkan belum sempat dikenalnya. Menurut saya, akan lebih pas jika digambarkan dengan sekadar menangis dalam hati dengan mata berkaca-kaca, umpamanya.

Dyah Pitaloka ini adalah novel perdana Hermawan Aksan. Sebelumnya, ia telah pula menerbitkan buku kumpulan cerpen Sang Jelata. Salah satu cerpennya dalam bahasa Sunda, Pulpen, memenangi lomba cipta carpon mini 2002.

Endah Sulwesi 3/12

Friday, January 06, 2006

Kuis Januari 2006

Berbeda dari biasanya, kuis bentang di tahun awal 2006 adalah menantang kemampuan anggota milis Klub Sastra Bentang dalam mengedit naskah terjemahan.

Berikut kami sediakan satu paragraf dari naskah yang akan Bentang Pustaka terbitkan di akhir bulan ini. Naskah tersebut adalah penggalan cerpen karya Fyodor Dostoevsky dengan judul A Little Hero. Disertakan terjemahan dan naskah aslinya.

Kuis terbuka bagi anggota milis KSB, yang belum menjadi anggota dan berminat ikutan kudu daftar dan gabung milis KSB terlebih dahulu. Hasil editan bisa dikirimkan ke klubsastrabentang@yahoo.com paling lambat 20 Januari 2006. Tiga hasil editan terbaik akan mendapatkan kiriman buku terbitan Bentang Pustaka selama 3 (tiga) bulan dan editornya akan dimasukkan dalam daftar editor lepas Bentang yang sewaktu-waktu akan dihubungi jika jasanya diperlukan.

Sebagai informasi, dalam 3 bulan kedepan Bentang Pustaka akan menerbitkan Les Miserables karya Victor Hugo, Baudolino karya Umberto Eco, dan Tears of The Girrafe sekuel The No. 1 Ladies Detective Agency karya Alexander McCall juga karya-karya sastra lain tentunya...

Menarik bukan? Makanya Ayo ikutan...

*Kuis tertutup bagi editor yang pernah mengerjakan editan Mizan dan pemenang kuis bulan-bulan sebelumnya...saguru saelmu tong ngaganggu... :)