x Klub Sastra Bentang: DYAH PITALOKA : Senja Di Langit Majapahit

Saturday, January 07, 2006

DYAH PITALOKA : Senja Di Langit Majapahit

Penulis Hermawan Aksan
Penerbit C/Publishing
Tahun 2005 - Cetakan I
Tebal 326 hal

Siapa yang tak mengenal Gajah Mada, mahapatih Kerajaan Majapahit yang pernah bersumpah tak akan makan buah palapa sebelum seluruh Nusantara bersatu? Kebesaran namanya bukan saja karena sumpahnya itu, tetapi juga karena kepemimpinannya. Namanya tak bisa dilepaskan dari kerajaan besar di Jawa Timur itu, yang kekuasaannya meliputi sebagian Jawa, Bali, dan Sumatra. Majapahit adalah Gajah Mada dan Gajah Mada adalah Majapahit.

Kesetiaan sang Mahapatih kepada kerajaan tak perlu diragukan. Seluruh hidupnya dibaktikan demi kejayaan Majapahit. Baginya, mengabdi kepada kerajaan itu di atas segala-galanya. Lebih penting dari nyawanya sendiri. Dan memenuhi sumpahnya adalah ambisi yang tak bisa ditawar-tawar lagi.

Saat banyak negeri takluk - dengan suka rela ataupun melalui perlawanan - di bawah kebesaran Majapahit, nun di sebelah Barat Jawa, di kaki Gunung Sawal, tersebutlah sebuah kerajaan Sunda dengan rajanya Linggabuana, berdiri bebas merdeka; membuat Gajah Mada penasaran ingin menaklukkannya demi memenuhi ambisinya. Maka, diputarlah otaknya mencari cara yang tepat agar kerajaan tersebut dapat dikuasai.

Ketika itu raja muda Hayam Wuruk masih belum beristri. Banyak sudah utusan dan juru lukis istana dikirim ke negeri-negeri taklukan guna mencari calon permaisuri. Namun, hingga kini tak jua ada yang berkenan di hati Sang Raja.

Kebetulan sekali, Raja Linggabuana memiliki seorang putri jelita yang juga belum menikah. Dialah Dyah Pitaloka; seorang putri yang bukan saja cantik rupa, tetapi juga cantik budi bahasa, cerdas, ramah, baik hati, dan pemberani. Gajah Mada pun menemukan jalan!

Singkat cerita, Hayam Wuruk pun jatuh cinta pada sang putri jelita. Lalu, disampaikanlah lamaran resmi yang diterima dengan segala kebanggaan oleh Prabu Linggabuana. Dyah tak kuasa menolak. Ia tak ingin mengecewakan rama dan bundanya, meski pun sebenarnya ia masih punya cita-cita luhur memajukan kaumnya di negeri Sunda.

Ia ingin, perempuan negerinya tak hanya pandai menjadi istri setia, tetapi juga pandai membaca dan menulis. Ia tak ingin sekadar menjadi seperti Dayang Sumbi atau Purbasari. Ia bermimpi, perempuan Sunda kelak juga bisa memimpin negeri sebagaimana cerita yang ia baca dari negeri-negeri seberang di luar Tanah Sunda.

Namun, apa daya, ia tak mampu menolak nasib yang telah digariskan baginya. Maka, pergilah ia menyongsong masa depannya ke Tanah Jawa.

Ternyata ia bukan sekadar menyerahkan dirinya , tetapi juga mengantarkan nyawanya. Putri Sunda itu mati dengan gagah berani di ujung tusuk kondenya sendiri, bahkan sebelum sampai ke pelaminan. Ia memilih mati bersama ayahanda dan rakyatnya demi membela kehormatan negeri ketimbang harus takluk pada tipu muslihat Gajah Mada yang licik dan keji. Peristiwa ini kemudian dikenal sejarah sebagai Perang Bubat.

Menarik, kisah di balik Perang Bubat yang dituturkan dalam novel Dyah Pitaloka ini. Dikemas dalam fiksi, membuat penulisnya bebas mengembangkan plot cerita dengan menggabungkan fakta dan imajinasi.

Di samping itu, sebagai penggemar wayang, Hermawan Aksan, penulis novel ini, cukup banyak juga mengutip lakon Mahabarata dan Ramayana sebagai ilustrasi dan pengaya cerita.

Berangkat dari obsesi penulisnya yang ingin menampilkan wanita cantik dalam sejarah (Sunda) - di Jawa ada Ken Dedes - maka dipilihlah Dyah Pitaloka dengan karakter hasil rekaannya : bukan hanya cantik tetapi juga cerdas, pemberani, dan penuh gagasan maju. Tentu saja, tokoh Dyah Pitaloka adalah real (fakta), namun soal karakter dan gambaran fisiknya, sepenuhnya hasil imajinasi penulis. Sebab, masih menurut penulisnya, tak ada ditemukan peninggalan berupa patung atau lukisan sosok sang putri jelita ini. Yang ada hanya sekadar gambaran Dyah Pitaloka yang cantik dan manja. Berbeda dengan Ken Dedes, misalnya, yang patungnya masih bisa kita lihat.

Selalu ada risiko dikritik oleh para sejarawan menulis kisah fiksi berdasarkan sejarah. Namun, semestinya kita bisa bersikap objektif dalam memberi penilaian sebuah karya fiksi. Sepanjang tak ada fakta sejarah yang disimpangkan atau diputarbalikkan, kisah tersebut patut kita terima sebagai sebuah upaya memperkaya wawasan dan melihat sejarah dari perspektif berbeda.

Misalnya saja, dalam novel ini, ditampilkan sisi lain Gajah Mada yang licik dan ambisius. Selama ini yang sering kita dengar hanyalah Gajah Mada yang perkasa, pahlawan yang telah mempersatukan Nusantara. Karakter Gajah Mada yang licik dan ambisius, rasanya mungkin saja, mengingat ia seorang panglima perang sebuah kerajaan besar. Tanpa ambisi, mustahil ia mampu meraih kejayaan.

Hari ini kita masih sering menyaksikan hubungan Jawa-Sunda (orang Jawa dan orang Sunda) yang tampak tidak terlalu mulus. Masing-masing pihak mengklaim sebagai "yang lebih tua". Apakah itu bermula dari Perang Bubat ini, yang mengakibatkan Gajah Mada gagal memenuhi sumpahnya dan Negeri Sunda kehilangan raja dan putrinya? Entahlah..

Bagian yang paling menarik, menurut saya, adalah saat Dyah Pitaloka memilih menikam ulu hatinya sendiri dengan patrem, sejenis tusuk konde penghias rambut wanita. Terasa ada unsur pemberontakan (seorang perempuan) di sini. Pilihan patrem - bukan keris atau belati - membuat adegan di akhir cerita ini jadi lebih dramatis dan menyentuh.

Hanya ada yang sedikit terasa berlebihan, yaitu ketika Hayam Wuruk, raja Majapahit yang gagah itu, menangis mengguguk atas kematian calon permaisuri pujaan hati yang bahkan belum sempat dikenalnya. Menurut saya, akan lebih pas jika digambarkan dengan sekadar menangis dalam hati dengan mata berkaca-kaca, umpamanya.

Dyah Pitaloka ini adalah novel perdana Hermawan Aksan. Sebelumnya, ia telah pula menerbitkan buku kumpulan cerpen Sang Jelata. Salah satu cerpennya dalam bahasa Sunda, Pulpen, memenangi lomba cipta carpon mini 2002.

Endah Sulwesi 3/12

22 Comments:

At 8:26 PM, Anonymous Anonymous said...

semoga aja novel ini tak seperti novel GAJAHMADA yang kemarin terbit. aku kaget baca GAJAHMADA, isinya sama persis dengan sandiwara radio jaman dulu... sama persis.... persis.....

 
At 2:01 AM, Anonymous Anonymous said...

Tidak ada fiksi sejarah tentang Dyah Pitaloka sebelum buku Hermawan Aksan tersebut terbit.

Di luar masalah kualitas buku tersebut cukup untuk direkomendasikan sebagai buku dongeng yang mampu mendeskripsikan tokoh maupun setting yang jarang diangkat ke dalam karya sastra.

 
At 5:20 PM, Anonymous Anonymous said...

Andaikan pelajaran sejarah dibuat seperti novel nyang ini...
kayaknya, anak-anak sekolah pada
apal dengan pelajaran sejarah.

tapi mana boleh ya sama mendikbud ? hi hi

 
At 5:17 PM, Blogger lembayung majapahit said...

Buku ini keren, terutama gaya bahasanya, puitis sekali, seperti membaca cerita mahabharata, indah...
Walaupun fiksi, penggambaran akibat tragedi bubat terlalu over, terutama jumlah korban prajurit Majapahit yang hampir 12 kali lipat dari jumlah prajurit Sunda, apalagi mengingat prajurit pengiring pengantin itu dalam kondisi tidak siap untuk berperang. Selainnya, cool....

 
At 11:54 AM, Anonymous Anonymous said...

Cool blog, interesting information... Keep it UP »

 
At 11:39 AM, Anonymous Anonymous said...

yth sdr LKH
bangsa yang besar adalah bangsa yang belajar dari sejarahnya. kita harus akui bahwa kita diwarisi sifat saling merebut kekuasaan dengan berdarah2. tapi, penulisan fiksi berbasis sejarah adalah media yang bagus utk belajar tanpa membosankan. Tentunya, subyektifitas penulis akan sangat besar untuk itu. seperti juga mengenai PERANG BUBAT.
saya sudah membaca GAJAH MADA: PERANG BUBAT. saya setuju sepahit apapun sejarah, kita harus realistis bahwa kita hidup di era yang berbeda. kita harus fair menempatkan gajahmada dengan keperkasaannya dan menghargai strateginya termasuk mengenai PERANG BUBAT.

saya bisa menerima kalo strategi menumpas ROMBONGAN TEMANTEN SUNDA hanyalah kebablasan penerjemahan perintah gajahmada oleh anak buahnya, sekaligus sebagai usaha sdr LKH, orang JAWA, untuk tetap membela gajahmada. Tapi, adalah subyektifitas yang SANGAT NISTA, sdr LKH menempatkan PRABU PUTRI sebagai WANITA SUNDA yang meminta KEHORMATANNYA untuk DINODAI (bahkan HARUS diulang dalam dua paragraf), meskipun dengan tokoh fiktif. saya minta sdr LKH harus bisa menjelaskan hasil risetnya yang mendukung dasar penulisan tersebut. sdr LKH tidak boleh merusak KEPERKASAAN dan HARGA DIRI dari PRABU PUTRI dan rombongannya dengan kenistaan seperti itu. siapapun WANITA SUNDA pasti merasa TERLECEHKAN. adat sunda (dulu) selalu menerapkan anak wanita dalam pingitan yang harus dijaga. memang mungkin juga PRABU PUTRI sudah punya kekasih, tapi dengan logika yang paling sederhana sekalipun sangat tidak mungkin menginginkan kehormatannya dinodai, apalagi dalam plot sdr LKH, SEKAR KEDATON sudah diangkat sebagai PRABU PUTRI. saya dengan sangat pendapat sdr AVID, http://yulian.firdaus.or.id/2006/12/23/gajahmada-4/#comment-84685 dan menganggap komentar sdr LKH http://yulian.firdaus.or.id/2006/12/23/gajahmada-4/#comment-85351 tidak cukup menjelaskan subyektifitasnya.

atas "ketidaknyamanan" membaca novel tersebut, saya menginginkan sdr LKH memberi alamat yang jelas untuk saya bisa kembalikan novel yang terlanjut saya beli. kalo konsumen (pembaca) sebagai raja, maka sebagai raja saya menitah sdr LKH untuk merevisi novel tersebut, terutama pada bagian meminta KEHORMATAN untuk DINODAI tersebut

saya tunggu,

SAPITRI WULANDARI SUNARMA

 
At 2:28 AM, Anonymous Anonymous said...

secara menasional tidak banyak novel yang berlatarkan kerajaan padjajaran...baru ini yang saiah anggap lumayan (maaf tidak terlalu bagus).

tapi hari ini di sebuah radio saiah dengar pengarang dyah pitaloka akan duduk bersama dengan pengarang gajah mada pada sebuah acara di toko buku....mungkin ini sekedar trick dagang...
untuk novel ini seluruhnya saiah anggap tidak terlalu buruk...
terima kasih.

 
At 8:52 PM, Anonymous Anonymous said...

Baguslah , ada novel lain selain novelnya GM karangan LKH yg menyinggung, karena penggambaran Prabu Putri Dyah Pitaloka seperti yang diprotes Sapitri. Sampai saat saya menulis comment ini, belum saya lihat jawaban LKH yg menerangkan hasil telaahannya yang mendasari penggambaran karakter Pitaloka seperti yang diminta sdr Sapitri. Mestinya dia minta maaf krn penggambaran demikian. Novel Gajah Mada LKH tidak layak untuk dibeli.

 
At 4:52 PM, Anonymous Anonymous said...

Buku yang bagus. Sebagai orang sunda saya puas dengan buku ini. apalagi saat ini saya baru saja beli buku "Gajah Mada Musuhku" masih karya Hermawan Aksan. Belum dibaca, semoga seperti buku Dyah Pitaloka.

Saya yang haus akan budaya sunda, bersyukur ada buku yang berasiskan sejarah sunda.

 
At 10:35 PM, Blogger Sutomo, M.Sc. said...

mas mas dan mbak mbak saya juga ingin membaca buku ini ada yang bisa bantu ga ya? saya saat ini sedang kuliah di australia tapi sangat ingin bisa mendapatkan buku ini...
trims

tommo

 
At 1:22 PM, Blogger Angga Genot said...

Perlu ada gambaran yg realistis sekaligus logis utk TRAGEDI BUBAT ini. Pencitraan PRABU PUTRI DYAH PITALOKA dan MAHAPATIH GAJAH MADA layaknya perwujudan sebuah sifat kehormatan Orang Jawa dan ketulusan Orang Sunda dalam keangkuhan dua kerajaan. Bukannya perseteruan sifat antara JAWA dan SUNDA yg kita wariskan untuk anak-cucu kita, melainkan cita2 luhur GAJAH MADA & LINGGABUANA yg tidak lain adalah ingin bersatu demi NUSANTARA.

Coba singkirkan fiksi sejenak, sikap penyerahan DYAH PITALOKA utk HAYAM WURUK bukanlah berarti menodai diri sendiri, apalagi menodai kehormatan PAJAJARAN. Citanya mulia, demi kemajuan kaum perempuan di PAJAJARAN, DYAH PITALOKA tulus diperistri HAYAM WURUK, sang raja terhormat dari kerajaan paling digdaya pada masa itu. Berharap MAJAPAHIT dapat mengangkat citra PAJAJARAN di mata nusantara kelak. LINGGABUANA pun ternista, ketika ia harus menghantar putri nya nan cerdas dan jelita, dan mati demi sebuah keangkuhan sang mahapatih.

Sebagai orang yg berdarah jawa dan berjiwa sunda, saya kagum dengan tragedi ini. Semoga apa yg terjadi dapat menjadi pelajaran berharga buat kita semua.

 
At 5:14 PM, Anonymous Anonymous said...

gambaran putri sunda ala LKH sangat logis, itu bisa dilihat dari karakter umum orang sunda yang lebih berani, terbuka pada masalah2 sexualitas....
orang kitu kalau sdh kadung cinta setengah mati, ngga kenal derajat dll....yang diserahkan cintanya pada kekasihnya. jd masih angat manusiawi.

 
At 2:46 PM, Anonymous Anonymous said...

Apakah/apalah arti sebuah nama..?
Nama musti ada artinya.

Berikut menurut ilmu TANTRA-WANGI:
===(sebuah aliran hindu India)===


--------------------
Tentang 2 tokoh yang bersangkutan
adalah DYAH PITALOKA dan GAGAH MADA.
1.
Dyah = Putri = Rati = Ratu = angka-1.
PitaLoka = LembahBerbukit/Taman yang ber-air = EDEN.
.........= Simbol kemaluan wanita = angka-8.
.........= M*M*K.
Artinya: 'Sang Ratu M*M*K'. ===angka-18.

2.
Gajah = Ya gajah = gedebanget = angka-9.
Mada = A-D-A-M = angka-1.
.........= Simbol dari seorang laki.
.........= K*NTOL.
Artinya: 'Sang K*NTOL Gajah'. ===angka-91.

Jumlah genap sangat cocok untuk wanita.
Jumlah ganjil lebih cocok untuk laki2.

Jika kedua orang tersebut digabung memang sangat cocok.
Mudah-jodoh, serasi. Bahkan sempurna untuk dunia.
Jika angka-7 = besar. angka-8 = sempurna/penuh.
Sedang angka-9 = overdosis = sempurna + sakti/supra.
--------------------


SCANDAL-BUBAT bukan tentang HYANG-WAROK dan DYAH-PITALOKA
Apalagi tentang LinggaBuana dengan HyangWarok..!

Jadi cerita sebenarnya keduana saling jatuh cinta.
Tapi karena posisi ke2nya kurang menguntungkan.
Maka terjadilah SCANDAL itu.. PERANG-BUBAT.
Dibutuhkan syarat dengan banyak tumbal darah
Untuk bisa menuaikan takdir cita2.. CINTA..!

Salah seorang dayang/emban sang ratu rela berkorban.
Dengan mengenakan pakaian sang RATU dia BelaPati/mati.
Sedang sang RATU menyembunyikan diri.
Dalam sejarah RATU masih tetap memerintah kerajaannya.
Dengan cara dibalik-layar sembunyi/halimunan.

Sang RATU juga punya banyak keturunan dan anak cucu.
Dan menjadi keluarga yang sangat besar hgg sekarang.

==================================
kata siapa mereka ambisius & matre
===MA'AF==========================

 
At 1:11 AM, Anonymous andhika said...

nterupsi sebentar.
Saya lagi proses pembuatan game tentang perang bubat. Saya perlu masukan tentang cerita peristiwa tersebut.
-Apa betul peta kekuatan 2000 tentara Majapahit melawan 200 tentara Pasundan?
-Baginda Linggabuana yang perkasa akhirnya gugur setelah melawan 200 pasukan Majapahit, kok bisa kuat ya? Ada yang bilang beliau memiliki armor pemberian bangsa Portugis.
-Apa betul setelah Putri Dyah Pitaloka lari ke hutan dan terjun ke Laut Selatan beliau menjadi penguasa kerajaan Laut Selatan bergelar Ratu Kidul atau Ratu Pantai Selatan (bukan Nyi Roro Kidul)
Mohon pencerahan dengan segenap kerendahan hati.
Saya orang Jawa Timur yang mungkin masih keturunan Majapahit tapi kagum dengan keperkasaan Raja Pasundan.
Mohon maaf bila ada kata yang salah.

 
At 8:58 AM, Blogger Argo9 said...

Itulah kelemahan fiksi sejarah, alur cerita dan penokohannya sangat tergantung pada penulis. Di sana-sini akan terjadi "pembelokan" menurut selera penulis. Meskipun saya belum baca kedua novel tersebut, tapi saya dapat merekomendasikan kepada pembaca untuk tidak menjadikannya sebagai sumber referensi. Menurut saya kedua penulis ini dan mungkin banyak generasi penerus bangsa lainnya yang mewarisi mental "cemburu dan dengki" sebagai akibat politik pecah belah/adu-domba pihak kolonial Belanda. Ketika itu Belanda menyadari betapa besarnya potensi orang Jawa dengan latar-belakang keagungan budayanya, yaitu: Sriwijaya (pendirinya berasal dari Mataram kuno - Jawa Tengah/Yogayakarta sekarang)dan Majapahit (pendirinya juga berasal dari mataram kuno) yang luas kekuasaaanya melebihi luas seluruh daratan Eropa Barat, juga banyak kerajaan Islam yang berpusat di Jawa (setelah itu era majapahit)yang luas wilayahnya jauh melampaui luas wilayah negara penjajah (Belanda, Inggris, Spanyol, dll,). Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan bangsa Indonesia (kebetulan berbasis Jawa) begitu tinggi dalam hal penguasaan ilmu pemerintahan/politik, teknologi kelautan/pelayaran, teknologi konstruksi (lihat bangunan candi). Suatu keuntungan bagi Belanda bahwa daerah eks kekuasaan Sriwijaya & Majapahit adalah kepulauan sehingga pengaruh politik dan budaya kerajaan masa lampau itu dapat di isolasi dan politik pecah-belah mudah diterapkan. Berbeda untuk menguasai Jawa tidak semudah itu. Salah satu potensi untuk memecah belah penduduk jawa (anytara suku Jawa dan Suku Sunda) adalah memanfaatkan momen Perang Bubat. Pesan yang diharapkan adalah: munculnya kebencian orang Sunda terhadap "hegemoni" orang Jawa. Itu masih bisa kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Namun alhamdullilah berkat agama (Islam), perkembangan teknolgi informasi, dan kebersamaan kita dalam NKRI, perlahan tapi pasti sikap itu mulai memudar. Di alam demokrasi ini saya menghargai kreativitas Hermawan Aksan dan penulis GM, tapi ingat Anda berdua (dan siapapun itu anak bangsa Indonesia)punya tanggung-jawab moral terhadap generasi muda kita. Masih banyak karya sastra/novel bermutu, indah, dan menarik yang bisa kalian gali dari sejarah agung nenek moyang kita. Tiap tokoh/manusia hebat (Gajahmada, Hayamwuruk, Dyah Pitaloka dll.) dan sepak-terjangnya pasti ada kelemahan/cacatnya. Itulah manusia. Mungkin kalian berdua bukan ahli sejarah/sejarahwan, tapi ingat jangan anda kembangkan imajinasi (yang kemudian Anda tuangkan sebagai bagian dari novel Anda) yang tidak bertumpu pada fakta sejarah/ilmiah secara seenaknya. Kalau itu Anda lakukan berarti Anda bukanlah penulis hebat alias cuma penulis murahan yang mencari uang dengan memanfaatkan sensasi khayal menyesatkan. Memang tidak mudah ya menulis yang bagus, menarik, tapi tidak mengorbankan perasaan pihak lain yang tersinggung/terhina oleh tulisan Anda. Mungkin Anda dan orang-orang yang simpati dengan Anda dengan enteng mengatakan: "Silahkan membuat tulisan sejenis untuk mengcounter tulisan saya ....". Bukan itu bung! Saya adalah konsumen, pemerhati sejarah, dan pecinta kerukunan hidup bangsa yang haus akan kedamaian di tengah kehidupan yang serba-sulit. Atau salurkanlah hasrat bebas menulis anda untuk Novel umum tapi bukan pada novel fiksi sejarah. Selamat berjuang!

 
At 9:04 AM, Blogger Argo9 said...

Itulah kelemahan fiksi sejarah, alur cerita dan penokohannya sangat tergantung pada penulis. Menurut penulis mewarisi mental "cemburu dan dengki" akibat politik pecah belah/adu-domba Belanda dalam menghadapi kebesaran orang Jawa (era Sriwijaya, Majapahit,kerajaan Islam yang luas kekuasaaanya melebihi Eropa Barat).
Pesan yang diharapkan adalah: munculnya kebencian orang Sunda terhadap "hegemoni" orang Jawa. Di alam demokrasi ini saya menghargai kreativitas Hermawan Aksan dan penulis GM, tapi tidak mengorbankan perasaan pihak lain yang tersinggung/terhina oleh tulisan Anda. Salurkanlah hasrat bebas menulis anda untuk Novel umum tapi bukan pada novel fiksi sejarah. Selamat berjuang!

 
At 12:27 PM, Anonymous Anonymous said...

Kenapa jadi ribut yach....
menurut saya sih bagus ko (GM 1-3 sudah saya baca). ada novel yang mengangkat sejarah (meskipun kebenarannya tidak 100%).
Yang saya pelajari dari GM yang digambarkan penulis adalah seorang yang cerdas, selalu menggunakan akal sehatnya, nasionalis, negarawan yang mendedikasikan hidupnya untuk negaranya. Disitu digambarkan keadaan Majapahit yang terdiri banyak suku itu jelas menggambarkan tidak ada masalah rasis.
Hanya saja mungkin yang mengkhawatirkan GM dalam kasus perang Bubat adalah kesatuan negara yang terancam.

Sekali lagi saya himbau kepada saudara-saudara se tanah air untuk lebih bijak mengedepankan kepentingan umum (negara) di atas kepentingan golongan. (hehehe kaya pelajaran PPKN jaman dulu SMP)

dan dalam bentuk apapun yang diangkat menjadi sebuah novel, menurut hemat saya itu harus diberi apresiasi. Hal itu merupakan karya anak bangsa (apalagi menyangkut sejarah, saya yakin beliau penulis banyak energi yang dikeluarkan untuk mencari referensi) yang bisa kita tiru untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.


Awal

 
At 10:47 PM, Anonymous ghiyats said...

tolong kalo bikin tulisan sejarah bukan sekedar cari sensasi.. apalagi sampai menghina salah satu tokoh, bisa memecah persatuan yang telah kita pegang teguh, kalo belum ada referensi yang valid ditunda dulu..

 
At 4:42 PM, Anonymous Anonymous said...

saya udah nya novel ini kemana2.. buat yang punya novel ini, walaupun bekas saya beli...
pliss ya...
hub. 085722633181

 
At 12:02 PM, Blogger mywadokai said...

Banyak orang yang cuma mau baca, tanpa mau menelaah kedalaman isi cerita.
Sejarah adalah sesuatu yang tidak nampak, kebanyakan pengarang atau penulis toh tidak mengalami jaman tersebut jadi sah-sah saja jika tulisannya pun " ngarang " sebuah perkiraan baik mengenai Tokoh, tempat dan peristiwa.
Pengarangpun cuma menuangkan kembali apa yang dia baca sebagai referensinya dibumbui intrik yang ada dalam bayangan pikirannya " Sekali lagi , pengarang tidak hidup dijaman baheula ".
Tapi menurut hemat saya pengarang yang baik adalah " Tidak menasbihkan ketokohan berdasar 'aku ini orang jawa atau orang sunda'. Siapapun dia adalah orang yang sanggup berdiri diantara 2 tiang yang berbeda keyakinan dan cara pandang.
Banyak sudah saya baca buku yang isinya cuma asal-asalan, tidak berbobot " Lebih baik Baca ' Wiro Sableng ' dimana disana banyak contoh yang patut diteladani dari tokoh yang berbeda suku bahkan jaman tanpa menorehkan siapa yang salah atau benar ".
Buat siapapun yang suka membaca jangan takut untuk memberi kritikan pada pengarang manapun.
Buat penulis " Jangan asal-asalan "

 
At 12:07 PM, Blogger mywadokai said...

Banyak orang yang cuma mau baca, tanpa mau menelaah kedalaman isi cerita.
Sejarah adalah sesuatu yang tidak nampak, kebanyakan pengarang atau penulis toh tidak mengalami jaman tersebut jadi sah-sah saja jika tulisannya pun " ngarang " sebuah perkiraan baik mengenai Tokoh, tempat dan peristiwa.
Pengarangpun cuma menuangkan kembali apa yang dia baca sebagai referensinya dibumbui intrik yang ada dalam bayangan pikirannya " Sekali lagi , pengarang tidak hidup dijaman baheula ".
Tapi menurut hemat saya pengarang yang baik adalah " Tidak menasbihkan ketokohan berdasar 'aku ini orang jawa atau orang sunda'. Siapapun dia adalah orang yang sanggup berdiri diantara 2 tiang yang berbeda keyakinan dan cara pandang.
Banyak sudah saya baca buku yang isinya cuma asal-asalan, tidak berbobot " Lebih baik Baca ' Wiro Sableng ' dimana disana banyak contoh yang patut diteladani dari tokoh yang berbeda suku bahkan jaman tanpa menorehkan siapa yang salah atau benar ".
Buat siapapun yang suka membaca jangan takut untuk memberi kritikan pada pengarang manapun.
Buat penulis " Jangan asal-asalan "

 
At 4:40 PM, Blogger Unknown said...

qzz0612
nuggets jerseys
uggs outlet
air jordan 4
true religion jeans
ugg outlet
louboutin shoes
kevin durant shoes
air jordan shoes
cheap jordans
diesel jeans

 

Post a Comment

<< Home