x Klub Sastra Bentang: December 2005

Monday, December 05, 2005

Komentar Atas Laskar Pelangi

Oleh : Rimbun Natamarga

Sebuah fiksi berisi banyak metafora-metafora yang diangkat penulis. Ia berisi pengalaman subjektif penulis. Ia berisi pesan. Ada makna yang diinginkan di dalamnya. Dan tak ketinggalan pula, ia berisi pelukisan akan gejala-gejala sosial yang berhasil ditangkap penulis. Seorang penulis fiksi berhak membangun dunianya di dalam sebuah karya. Kebenaran baginya adalah mutlak di bawah kekuasaannya. Ia berhak membangun sebagaimana pula berhak merobohkannya.

Seorang teman memberitahukan keganjilan-keganjilan yang didapatkannya ketika membaca Laskar Pelangi. Banyak yang tak logis, katanya. Semacam "ketidak-taatan" atas dunia yang dibangun oleh penulis di dalamnya. "Ia tak menjadi," begitu kiranya (tentu saja ini dengan bahasa saya yang saya kutip-mentah dari Chairil Anwar). Sebaliknya, saya pun secara apriori menyimpulkan, "Ini biasa nya terjadi pada karya-karya pertama seorang penulis." Laskar Pelangi adalah novel pertama Andrea Hirata.

Dalam bekarya, karya fiksi maksudnya, Andrea memiliki kebebasan. Satu-satunya yang mengikatnya adalah ketaat-asasan atas "dunia" yang dibangun dalam karyanya. Pelaku dan kejadian-kejadian dalam sastra dapat saja semuanya imajinatif. Penulis hanya mempertanggungjawabkan pekerjaan-pekerjaan kepada internal necessity dari tokoh, kejadian, dan jalan cerita. Bahkan dalam karya-karya yang absurd sekalipun ada semacam aturan ke-"absurd"-annya.

Sejak bab pertama, Andrea sudah menyiapkan sebuah dunia yang riil. Terbukti dari peristiwa penerimaan murid sekolah pada hari pertama itu. Di sebuah pulau, di tengah masyarakat, pada sebuah keadaan yang terpinggirkan, cerita mulai berjalan apa adanya. Sepintas, cerita yang dibawakan adalah sebuah cerita dari sang aku yang sudah dewasa, dari sa ng aku yang sudah mengalaminya. Sampai bisa saja dikatakan: ini sebuah memoar, seperti kata Hernadi Tanzil dalam resensinya, sebuah pengamatan atas kehidupan yang pernah dijalani oleh sang aku.

Padahal sesungguhnya belum tentu. Coba periksa halaman 227-228. Di situ sang aku mengatakan,

"Tahukah Anda apa yang dimaksud dengan bahagia? Ialah apa yang aku rasakan sekarang. Aku memiliki minat pada seni, akan membuat sebuah performing art bersama para sahabat karib—dan kemungkinan ditonton oleh cinta pertama? Aku mengalami kebahagiaan paling besar yang mungkin dicapai seorang laki-laki muda.
Kami sangat menyukai gerakan-gerakan enerjik rekaan Mahar..." (Penekanan kata-kata tak-kursif oleh saya).

Kesan apa yang didapat? Sang aku dalam halaman itu, ceritanya, akan meme ntaskan sebuah pertunjukan dalam acara karnaval 17 Agustus antar sekolah di Belitong. Ia gembira begitu tahu akan mementaskan sesuatu yang lain, dan kegembiraan itu ia "...rasakan sekarang." Dan ternyata, kegembiraan itu adalah "...kebahagiaan paling besar yang mungkin dicapai seorang laki-laki muda" sepertinya.

Artinya, "sekarang" dalam kutipan itu secara langsung menyuratkan bahwa ketika kebahagiaan itu datang sang aku menceritakan dan menuliskannya segera, saat itu juga, bukan nanti ketika ia sudah dewasa dan tak muda lagi. Ini jelas adalah kebalikan dari penceritaan sang aku sejak bab pertama. Dari bab itu sampai bab 33, sang aku adalah seseorang yang telah mengetahui, seseorang yang serba tahu akan semua kejadian yang telah berlangsung. Ia bercerita lancar, meloncat-loncat dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain sembari menyembunyikan sesuatu yang telah diketahuinya dari kita agar ketika tiba pada saat yang tepat sesuatu yang diinginkannya terjadi, terbangun, dalam persepsi kita sebagai seorang pembaca.

Peristiwa demi peristiwa di tangannya adalah alat untuk membangun makna. Makna yang diinginkannya adalah sebuah rekonstruksi. Untuk melakukannya, jelas sang aku harus memilah dan memilih, mana peristiwa yang cocok mana peristiwa yang justru merubuhkan makna tersebut.

Pertanyaannya adalah ada berapa makna yang diinginkan oleh sang aku itu. Tunggalkah makna itu, mengingat Laskar Pelangi adalah sebuah karya fiksi? Sang aku dalam Laskar Pelangi jelas menginginkan makna tertentu yang bisa jadi satu. Tapi bagi kita, para pembaca, makna itu lebih dari satu.

Tapi, kenyataannya, proses untuk mencari makna dari cerita sang aku dalam Laskar Pelangi akan sering membentur hal-hal yang terasa janggal, terasa aneh dalam dunia yang dibangun sang aku. Akibatnya, kita akan terpaku pada kejanggalan itu, keanehan itu . Misal yang mencolok adalah tinggi A Ling yang diceritakan oleh sang aku pada halaman 269.

Di sana dikatakan, "Cantik rupawan melebihi mayoret mana pun. Tingginya tak kurang dari 175 cm, jelas lebih tinggi dariku." Tak ada yang aneh di sini. Meskipun "Tingginya tak kurang dari 175 cm," sang aku jelas-jelas mengakui bahwa dirinya, si cantik maksudnya, "jelas lebih tinggi" dari diri sang aku. Yang aneh justru baru akan terasa pada halaman 280. Ketika Pak Pos menyerahkan surat untuk sang aku, ia mengatakan, "Ada gadis kecil datang ke kantor pos pagi-pagi. Mengirimu kilat khusus dalam kota!". Gadis kecil itu A Ling, si cantik, menurut sang aku. Tapi bayangkan, bagaimana Pak Pos mengatakan si cantik itu sebagai "..gadis kecil"! Padahal, jelas-jelas si cantik memiliki tinggi 175 cm (!), maka alangkah tingginya Pak Pos itu sampai-sampai gadis 175 cm itu dikatakannya sebagai gadis yang kecil...

Setahu saya, Michelle Yeoh, sosok pengibaratan terhadap A Ling oleh sang aku, memiliki tulang pipi yang menonjol. Bahkan tulang pipi yang menonjol itulah yang menjadikannya lebih menarik dari yang lain. Tapi lihat ujar sang aku pada halaman 210-211,

"Seperti kebanyakan ras Mongoloid, tulang pipinya tidak menonjol, tapi bidang wajahnya, bangun bahunya, jenjang lehernya, potongan rambutnya, dan jatuh dagunya yang elegan menciptakan keseluruhan kesan dirinya benar-benar mirip Michelle Yeoh, bintang film Malaysia yang cantik itu. Maka terkuaklah rahasia yang tertutup rapi selama bertahun-tahun." (Penekanan tak kursif oleh saya).

Meski terkesan sepele, kebertolak-belakangan ini cukup mengganggu. Belum lagi mengingat kemampuan sang aku dan teman-temannya untuk mendapatkan alat-alat musik ketika ingin unjuk kebolehan mereka pada suatu acara. Electone, tabla, d rum, dan sitar bukan barang gampang untuk mendapatkannya, mengingat sang aku sejak pertama kali sudah menegaskan bahwa mereka adalah anak-anak miskin di suatu pulau sehingga membeli sepatu dan celana-layak untuk sekolah saja begitu sulitnya.

Saya tentu tak `kan menerima kejanggalan-kejanggalan yang terjadi dalam beberapa halaman pada Laskar Pelangi, KALAU SAJA SAYA MEMBACANYA SEBAGAI SEORANG DEWASA yang selalu berpikir logis, rasional, terstruktur, ajeg, dan sesuai dengan hukum-hukum kehidupan yang kita jalani sehari-hari.

Terus terang, ketika mulai membaca bab pertama Laskar Pelangi saya masih berpikir sebagai seorang dewasa. Saya mesti rasional, logis, dan membuat jarak dengan apa yang saya baca. Tapi sejak bab dua, saya membaca Laskar Pelangi sudah sebagai seorang anak kecil yang siap diceritai oleh sa ng aku. Terserah ia benar atau salah, yang jelas sang aku saya perlakukan sebagai sahabat karib saya. Sebagai seorang yang seperti itu, saya mempercayainya. Ada sesuatu yang penting di balik apa yang disampaikannya. Kalau pun ada yang salah, yakni yang tak sesuai, itu wajar saja dan saya anggap itu tak sengaja darinya.

Apa yang membuat saya berbuat seperti itu adalah kenyataan bahwa sang aku mengajak kita untuk menyelami masa kanak-kanak yang terjadi padanya. Dunia anak-anak, dunia sekolah dasar yang dialaminya, sungguh berkesan baginya. Ia ingin bercerita, berbagi dengan saya. Karenanya, sebagai seorang dewasa alangkah sungguh tak mampu saya memahaminya kecuali dengan meleburkan diri ikut bersamanya. Ikut tumbuh dengan dirinya. Ikut berempati, bukan cuma bersimpati. Dan kebetulan, pengalaman-pengalaman yang diceritakannya nyaris pernah saya alami juga.

Saya pernah merasa "malu" dengan sepatu baru yang dibelikan ayah. Saya pernah tak berdaya berada di bawah teman s ebangku yang selalu nomor satu di kelas, sedang saya selalu nomor dua di bawahnya. Saya pernah jadi orang "gila no. 5" hanya karena menuruti kebodohan seorang kawan (lihat halaman 82). Saya pernah merasa seolah-olah semua orang berjalan pelan, slow-motion, sekaligus anggun, setelah menatap wajah seseorang sedang darah saya saat itu "berdesir menyelusuri seluruh tubuh." Dan saya pernah punya teman yang tak pernah logis, rasional, seumur-umur waktu sekolah dasar dulu.

Saya membaca Laskar Pelangi bukan sebagai karya sastra, tapi sebagai seperti sebuah dongeng. Akibatnya, saya menerima apa yang diceritakan sang aku sebagai sesuatu yang masuk akal semuanya, sebagaimana dulu biasa saja saya menerima cerita-cerita Hans C. Andersen.

Misal, A Ling yang 175 cm, bagi saya, sepertinya biasa saja. Itu tak begitu tinggi untuk anak seumuran itu. Sebab dalam persepsi saya wajar saja untuk anak-anak pulau terpencil seperti itu memiliki tinggi badan seperti itu. Yang saya ketahui, pertumbuhan tubuh anak-anak pedalaman atau pulau terpencil sering di atas ukuran normal kita yang hidup di kota-kota besar. Selain itu, menurut saya, bisa saja sang aku mencintai gadis itu tanpa pernah merasa risih dengan tinggi badan yang berbeda dengannya. Toh, bagi sang aku, cinta itu tak masuk akal, cinta itu tak pernah rasional (lihat halaman 255).

Tentang Lintang, teman sang aku, yang bisa mendebat Drs. Zulfikar, seorang guru yang lulus cum laude dari Fakultas MIPA sebuah universitas ternama, adalah wajar. Sebab, pendidikan yang diberikan oleh gurunya, Bu Mus, adalah cara mendidik yang istimewa. Di sekolah itu, guru bukan sekedar seorang pengajar, tapi sekaligus seorang sahabat, mitra hidup, yang membimbing murid. Ia memberikan hati kepada anak-anak didiknya, bukan sekedar instruksi atau komando. Dari beberapa halaman yang bercerita tentang cara nya mendidik, kita lihat sebuah cara mendidik yang nyaris tak ada lagi sekarang ini.

Berbeda dengan saya (atau mungkin kita semua?) yang pernah punya guru juga dulu, Bu Mus adalah guru yang tak pernah memasung daya eksplorasi Lintang. Murid-murid jelas dibimbing olehnya. Lagipula, satu hal yang perlu diingat, Lintang mengalami sesuatu, semacam "pencerahan," ketika tiba-tiba "...terheran-heran menyaksikan angka-angka tua yang samar di lembaran itu seakan bergerak-gerak hidup, menggeliat, berkelap-kelip, lalu menjelma menjadi kunang-kunang yang ramai beterbangan memasuki pori-pori kepalanya" (periksa halaman 102). Seperti halnya Pramoedya Ananta Toer, kiranya, yang pernah juga mengalami semacam "pencerahan" ketika berada di dalam sel Belanda dulu (periksa Nyanyi Sunyi halaman 27).

Atau dengan alat-alat musik mereka, itu wajar saja. Atau pengetahuan sang aku akan lagu-lagu terkenal, wajar saja mengingat pulau Belitong begi tu dekat dengan Semenanjung Melayu dan pancaran gelombang radio darinya mudah ditangkap oleh radio biasa. Lagipula, lingkungan Gedong, saya pikir, pasti tak `kan sunyi dari lagu-lagu terkenal, meski barat sekali pun, yang disiarkan dengan gelombang terbatas.

Lalu, soal Michelle Yeoh? Itu anggap masalah waktu. Ketika sang aku melihat A Ling, bisa jadi saat itu Michelle Yeoh masih muda. Pipinya masih berisi, dan jauh dari tonjolan tulang-tulang pipi yang biasanya muncul seiring dengan meningkatnya usia seseorang.

Dan demikianlah. Pembacaan atas sebuah karya fiksi bukan sekedar kegiatan membaca. Karya fiksi, khususnya lagi karya sastra, berisi pengalaman-pengalaman subjektif dari penulisnya. Tak jarang, bukan sekedar pengalaman, tapi juga renungan, imajinasi-imajinasi yang tak pernah bisa kita terima. Tinggal kita, para pembaca, bagaimana menyikapinya: menyetujuinya atau menolaknya mentah-mentah. Metafora-metafora yang disajikan adalah alat bagi kita untuk menyerap makna yang diinginkan penulis. Bagaimana dengan makna yang dapat ditangkap oleh kita, para pembaca, ini? Saya pikir, masing-masing kita dapat menangkapnya jelas, meski sudah tentu dapat berbeda.

Akhirnya, saya tak pernah menyangka bahwa untuk memberikan rating atas Laskar Pelangi saya justru tak bisa. Deretan bintang-bintang rating (yang brengsek) itu tak mampu mewakili kesan yang saya dapatkan dari buku ini.

Diskusi Laskar Pelangi Di Diknas

Asyik..asyik..
Haha..hihi..
Bareng Kurnia dan Ersta
Foto bersama
Untuk dikirimkan kepada Lanfang sahabat tercinta

Ada Kris dan Andrea juga
Ditambah Akmal penulis Imperia
Aku jadi merasa cantik semata
Sebab yang kusebut itu lelaki semua
hahaha

Diskusinya sukses lancar belaka
Dilihat dari jumlah peserta, kursi terisi semua
sehingga aku berdiri di samping meja

Laskar Pelangi menuai laba
karena laris manis tanpa sisa
Bentang siap-siap dengan cetakan kedua
Kris dan Andrea pastilah suka cita

Nyaris tanpa kritik dari para pembicara
Hanya pertanyaan ingin tahu dari beberapa peserta
Pokoknya. hujan pujian buat Andrea Hirata
Bukti nyata bahwa bukunya diterima

Di penghujung acara Bentang bagi-bagi hadiah
langganan buku 3 bulan cuma-cuma
Pemenangnya ada tiga
Lelaki satu, perempuan dua

Lalu, acara ramah-tamah
aku ikutan ramai-ramai ke muka
sok akrab dengan penulis Imperia
Syukurlah, ia mengenaliku sebagai Perca
Hahaha

Kemudian giliran mendekati Andrea
tapi ia tengah jadi idola
sehingga agak sukar menembusnya
kerumunan itu, oh..kebanyakan wanita

Akhirnya, cuma bisa jabat tangan sebentar saja
"Hai Andrea, aku Endah" (Sok Pede aja)
Jika orang-orang dengan Laskar Pelangi modalnya
aku cuma senyum saja
sebab, Laskar Pelangi-ku sedang tak ada
dipinjam seorang berminat sama
Maka, tak bisa dekat Si Ikal lama-lama

Apa lagi ya?
rasanya sudah semua

Oya, makanannya
Tahu goreng, onde-onde, dan lumpia
minumnya segelas aqua
Kayaknya Kurnia habis tiga
Lapar kali ya? Hahaha

Hmm...lengkap sudah ya laporannya
Tinggal tunggu foto-fotonya
hasil jepretan Mas Kurnia
Semoga Lanfang dengan ikhlas menerima

Demikan, sekian saja ya.
Kalau ada yang kurang atau terlupa
Mungkin Mas Kurnia bisa menambah
Atau Ersta melengkapinya

Wassalam,
Endah [ http://perca.blogdrive.com ]

Labels: