x Klub Sastra Bentang: August 2005

Friday, August 12, 2005

[B] Detektif Feng Shui 2 : Perjalanan Ke Selatan

Penulis Nury Vittachi
Alihbahasa Sofia Mansoor
Penerbit C/Publishing
Tahun 2005 cetakan pertama
Tebal 44 hal


Penerbit C/Publishing, hanya selang sebentar setelah Detektif Feng Shui, kembali menerbitkan Detektif Feng Shui 2 : Petualangan Ke Selatan, yang merupakan bagian ke dua dari trilogi kisah detektif Wong, si ahli feng shui, yang sering secara tak sengaja terlibat dalam sebuah kasus yang mengharuskannya terjun menyelidiki bersama asistennya, Joyce McQunnie. Mereka berdua adalah pasangan yang unik. Satunya pria keturunan Cina berumur 56 tahun, sementara yang lain, seorang cewek ABG, bule, berusia 18 tahun.

Walaupun ini novel serial, tetapi tetap berdiri sendiri-sendiri. Buku kedua bukan merupakan kelanjutan cerita buku pertama. Kisahnya pada masing-masing buku berbeda. Hanya tokoh-tokohnya saja yang masih tetap sama. Namun, memang tetap lebih asyik jika kita membacanya urut dari buku pertama. Rencananya, C/Publishing dalam waktu dekat akan segera menerbitkan jilid ketiganya pula.

Dalam buku ke dua ini, C.F.Wong beserta Joyce, seperti pada buku pertama, menangani pula beberapa kasus sekaligus. Kasus pertama adalah hilangnya Danita Mirpuri, puteri seorang pengusaha ekspor impor keturunan India. Kasus kedua - kasus utama dalam kisah ini - adalah menggagalkan usaha pembunuhan atas Madeleine Tsai, anak gadis seorang pengusaha properti paling kaya di Hong Kong. Dalam usaha menyelamatkan nyawa gadis tersebut, pasangan detektif itu harus memburu sang pembunuh sampai ke belahan dunia paling selatan : Australia. Di Sydney, terjadilah kejar-kejaran antara mereka bagaikan adegan film action Amerika. Perkara terakhir adalah mengusir hantu dari ruang praktek dokter gigi. Tentu saja, di balik cerita hantu itu terdapat sebuah rencana jahat yang mengakibatkan nyawa seseorang harus melayang.

Ketiga kasus tersebut diramu dengan asyik oleh Nury Vittachi, penulisnya, yang kini tinggal di Hong Kong. Bumbu-bumbu humor segar dan jenaka menjadikan kisah detektif ini renyah dikunyah menerbitkan senyum dan bahkan tawa ngakak. Kelucuan tersebut banyak muncul dari dialog antara Wong dengan asisten bulenya itu. Perbedaan usia, kebiasaan, serta latar belakang budaya keduanya, menciptakan gap yang cukup besar sehingga sering menimbulkan kesalahpahaman yang berujung pada kelucuan-kelucuan. Atau juga biasanya timbul karena salah mengartikan sebuah kata dalam bahasa Inggris. Wong, dengan pemahaman bahasa Inggris yang terbatas, seringkali keliru dalam pengucapan ataupun listening sehingga artinya pun jadi salah. Seperti :

Ia melangkah masuk ke toko buku dan menunjuk ke sebuah kartu pos bergambar. "Gedung apa ini?" tanyanya kepada petugas toko.
"Itu Opera House", jawabnya
"Oprah House?"
"Yap"
Wong termenung sejenak. "Aku pernah melihat orang itu di TV. Di Singapura....." (hal 369)

Detektif Feng Shui memang berbeda sekali dengan kisah-kisah detektif ala Agatha Christie yang serius atau model Dan Brown dengan Robert Langdon-nya yang sarat dengan thriller. Cerita dan plotnya jauh lebih ringan dari kedua jenis novel detektif tersebut. Sebagai sebuah bacaan, ia sangat menghibur. Apa lagi dengan kedekatan tradisi dan budaya Asia sang detektif, membuat kita, pembaca di Indonesia, lebih merasa akrab dengan tokoh utamanya itu. Dengan demikian, lebih mudah bagi kita untuk mencerna dan memahami kelucuan-kelucuan yang terjadi. Maka, tertawalah...!

Wednesday, August 03, 2005

[B] Detektif Feng Shui



Penulis : Nury Vittachi
Penerbit : C| publishing
Tahun Terbit : Cetakan I, Mei 2005
Jumlah Hlm. : vii+378


Dialog Timur-Barat dalam Detektif Feng Shui

Mendengar kata-kata feng shui mengingatkan kita pada banyak rubrik di media cetak atau acara di televisi yang membahas soal penataan bangunan rumah atau lainnya. Apa jadinya kalau seorang ahli feng shui punya hobi menjadi detektif? Kalau seorang ilmuwan, atau dokter, atau ahli kimia rasa-rasanya sudah biasa.Namun apa jadinya kalau ilmu tentang tata letak bangunan digunakan untuk memecahkan masalah kriminal? Hanya Wong yang bisa melakukannya.

Dalam Detektif Fengshui, Wong sengaja atau tidak, terlibat ke dalam berbagai kasus dan harus memecahkannya dengan menggunakan kemampuannya dalam bidang feng shui. Kasus pertama yang harus dipecahkan adalah pembunuhan perempuan oleh suaminya sendiri. Kasus kedua mengenai pembajakan sebuah media oleh distributornya. Ketiga, mengenai pembunuhan kepala koki. Keempat, pembunuhan suami istri pencinta binatang. Kelima, kasus penipuan dalam jual-beli rumah. Keenam, penipuan perbankan menggunakan mesin ATM. Ketujuh, misteri kematian seorang pegawai dalam perusahaan di Delhi. Kedelapan, kasus pembunuhan yang melibatkan seorang supir taksi. Dan terakhir, kasus penyelundupan barang-barang ke dalam lingkungan
penghuni kuil Buddha.

Wong adalah seorang geomancer yang bekerja pada sebuah perusahaan jasa konsultasi feng shui. Kantornya di Singapura. Kliennya bisa dari berbagai macam bangsa dan etnis. Dia memiliki seorang asisten mat Salleh (orang bule) yang "terpaksa" dia terima magang kerja. Namanya Joyce. Dia anak salah satu klien terbaik bosnya di Amerika. Joyce bermaksud magang kerja selama liburan dan membuat penelitian tentang feng shui dalam sudut pandang akademis.

Semula, Joyce dianggap tidak berguna dan mengganggu saja oleh Wong. Sikapnya yang sangat terbuka dan ceplas-ceplos, cara berpakaiannya yang aneh, serta gaya bicaranya yang menurut Wong sangat susah dimengerti, semua itu membuat Wong harus sangat bersabar. Dalam buku ini, Joyce digambarkan demikian: "tingginya kira-kira satu atau dua inci di atas Wong, tetapi sekarang menyusut jadi sama tinggi ketika ia sudah mencopot sepatu. Kulitnya superpucat dan sedikit berbintik, rambutnya dipotong shaggy dan berwarna cokelat kemerahan, seperti sebuah mantel bulu tupai. Ia mengenakan sepatu bot laki-laki dengan hak karet yang tebal, celana hitam ketat, rok pendek, dan sweater besar yang tak berbentuk. Kelihatannya ia punya lima tindikan di satu telinga, dan tujuh di telinga lainya. Dia tak memakai cincin tetapi punya gelang-gelang India raksasa di kedua tangannya yang bergemerincing nyaring ketika ia bergerak, dan mengancam untuk menumpahkan kopinya."

Namun siapa sangka kalau asistennya itu ternyata sangat membantunya dalam mempelajari bahasa Inggris, terutama dalam bahasa "gaul" yang tidak bisa dia temukan dalam kamus. Berulang kali Wong berusaha mencatat ucapan Joyce untuk kemudian mencari artinya di dalam kamus atau sekadar untuk mengingatnya dan berusaha mereka-reka artinya saat Joyce mengucapkannya
lagi.

Dalam Detektif Feng Shui, kita akan menemukan perbenturan budaya Barat dan Timur yang diolah sedemikian rupa oleh Nury Vittachi sehingga menjadi sebuah dialog antarkultur yang cerdas dan sering kali menggelikan. Kita akan menemukan demikian banyak keruwetan bahasa suatu bangsa (bahasa Inggris) bagi telinga bangsa lain. Kesalahpahaman mengartikan sebuah ucapan, oleh Vittachi bisa diolah menjadi humor-humor segar yang membuat pembacanya terbahak. Misalnya saja, Joyce sering kali mengumpati sesuatu dengan ucapan "Suck". Wong atau orang lain akan menyahutnya, "Suck what?" karena dalam bahasa Inggris, kata suck juga berarti menghisap. Atau ada ucapan kesal Wong karena ternyata bahasa "gaul" pun ada aturannya.

"Tak terlalu bagus, tetapi sangat span and spic,"ujarnya.
"Spic and span," kata Joyce membetulkan.
"Spic and span, span and spic, bedanya apa?" Wong menggerutu.

Buku Detektif Feng Shui ini hanya akan menjadi buku cerita detektif biasa seandainya tidak ada benturan dua kultur tadi, yaitu Timur dan Barat. Di bagian-bagian awal novel, pembaca akan menemukan betapa Wong adalah seorang lelaki berumur 56 tahun yang sangat berhati-hati dan penuh pertimbangan.Segala sesuatunya harus seimbang dan berada pada tempatnya karena salah letak sesuatu bisa menciptakan kekacauan. Lain Wong, lain pula Joyce. Dia gadis berumur sekitar 14-30 tahun (Wong selalu sulit menentukan umur orang Barat) yang sangat ekspresif dan terkadang ceroboh. Keduanya benar-benar mewakili dua buah kutub yang berbeda, baik dari umur maupun latar belakang kultural.

Kecerdasan Vittachi dalam buku ini tampak dalam caranya menyikapi pergesekan kultur Timur-Barat. Dia berhasil membuat gesekan yang bagi banyak orang sebagai sebuah fenomena sosiokultural yang menakutkan itu menjadi peristiwa-peristiwa yang memancing tawa. Misalnya, ketika Joyce mengatakan bagian atas sebuah peta merupakan arah mata angin utara, Wong mengomentarinya dengan mengatakan bahwa sekolah di Barat tidak mengajari apa pun karena menurut ilmu feng shui, bagian atas peta adalah Selatan