x Klub Sastra Bentang: July 2005

Sunday, July 24, 2005

[B] Frida



Penulis Barbara Mujica
Penerjemah Nuraini Juliastuti
Penerbit BENTANG (PT Bentang Pustaka)
Tahun 2004 Cetakan Pertama
Tebal xxviii + 795 hal

di alismu langit berkabung
dengan jerit hitam
dua burung

di ragamu tiang patah
di kamar narkose, ampul tertebar :
rasa sakit dan sejarah

(Untuk Frida Kahlo - Goenawan Mohamad)

Siapakah Frida Kahlo, sehingga Goenawan Mohamad terinspirasi menulis puisi untuknya? Secantik apakah ia sampai-sampai ilham itu menyembul dari benak seorang penyair seperti Goenawan, menjelma dalam bait-bait puitis sajaknya? Padahal jarak waktu dan geografis memisahkan keduanya sedemikian jauh.

Frida Kahlo di kalangan seniman lukis adalah sebuah legenda. Ia dikenal sebagai sosok seniman revolusioner dengan lukisan-lukisan yang sebagian besar adalah potret dirinya. Ia seorang narsis yang memuja dirinya sendiri. Temperamental, lugas, blak-blakan, tak tahan jika diabaikan, selalu ingin menjadi perhatian semua orang di sekitarnya : ayah, ibu, kakak, adik, suami, para kekasih, sahabat-sahabatnya..Ia feminis. Ia nasionalis. Ia komunis.

Terlahir dari ibu berdarah Indian Mexico dan ayah keturunan Jerman-Hongaria, Frida tumbuh sebagai gadis kecil pemberontak dengan lidah tajam. Ia bukan saja cantik menawan tetapi juga cerdas. Otak encernya itu membuatnya kelak diterima sebagai siswa sekolah menengah paling bergengsi di Mexico. Dari 2000 orang siswanya, hanya ada 35 murid perempuan, termasuk Frida. Dari sekolah ini kemudian muncul sejumlah "orang terkenal".

Sejak kanak-kanak, Frida telah tertarik pada warna-warna dan fesyen. Ia senang berdandan dan memakai busana dengan warna-warni mencolok. Di kemudian hari, hal ini sangat memengaruhi lukisan-lukisannya. Perjalanan hidupnya yang tak terlalu panjang - lahir pada 6 Juli 1907 (Tetapi selalu diakuinya 1910, agar pas dengan dimulainya masa Revolusi Mexico. Ia ingin diakui dan dikenal sebagai Frida yang Mexico dan bukan Yahudi) dan meninggal 7 Februari 1954 - begitu penuh lika-liku : terserang virus polio, mengalami kecelakaan bus yang hampir merenggut nyawanya, perkawinannya yang tidak bahagia dengan pelukis mural, Diego Riviera, beberapa kali keguguran, kelumpuhan total di masa-masa akhir hidupnya serta kisah cintanya dengan para lelaki dan perempuan. Ya, dia seorang biseksual.

Frida tak pernah menjawab. Berhari-hari yang nampak adalah
lelaki, tamu-tamu yang berdatangan, melalui beranda Rumah
Biru, menyapanya, duduk-duduk minum teh, mencicipi kue,
dan berceloteh dan melucu, sambil berdiskusi tentang tuhan
yang mereka ingkari dan kedatangan Trotsky
Mereka berkata, "Tidak, Frida, kau tak apa-apa"

(Untuk Frida Kahlo - Goenawan Mohamad)

Seluruh kisah hidupnya inilah yang tersaji dalam novel Frida (judul aslinya : A Novel Based on the Life of Frida Kahlo) karya Barbara Mujica, penulis dan profesor bahasa dan sastra Spanyol di Georgetown University. Ditulis dengan gaya naratif Cristina Kahlo, adik perempuan Frida , menjadikan novel ini sebagai sebuah kesaksian perjalanan hidup seorang Frida. Pembaca diajak mengenal tokoh Frida melalui sudut pandang dan pengalaman Cristina, orang terdekat Frida. Usia mereka hanya terpaut 11 bulan saja, tak heran jika hubungan kakak beradik itu sangat akrab meski terjadi juga persaingan di antara mereka, menyelinapkan kebencian. Benci tapi rindu. Selain Frida, menurut saya, karakter utama fiksi ini adalah juga Cristina.

Di mata Cristina, Frida adalah sosok perempuan pemberani, kakak yang selalu membela dan melindungi sekaligus juga pembohong bermulut kasar. Namun demikian, mereka saling mencintai dan tak terpisahkan hingga Frida wafat. Hubungan keduanya sangat unik sebagai dua orang saudara dan dua orang perempuan dewasa. Pada Cristinalah Frida mencurahkan seluruh perasaan hatinya. Penuturan Cristina ini diramu dengan amat ciamik oleh Barbara Mujica, tertuang menjelma kisah Frida yang menyentuh ego keperempuanan saya. Keberanian dan penderitaannya menggetarkan kalbu, membentuk kaca-kaca bening yang mengaburkan pandangan : saya menangis tanpa suara.

Di ruang Meksiko itu, dengan gaun putih Tehuana, Frida
menghentikan kursi rodanya. Kamar berubah suhu, tapi hidup,
seperti dulu, adalah kini yang berganti-ganti..........

Apakah mati sebenarnya? Konon di tempat tidurnya -- sebelum
orang mengangkatnya ke api kremasi -- ada seorang yang
datang dan mencium parasnya, penghabisan kali, "Frida, kau
adalah ketakjuban kepada harum brendi, senyum di
percakapan dan ranum pisang dalam sajian makan malam.
Kau tergetar kepada apa yang sebentar"

................

"Apa yang akan ku lakukan tanpa yang absurd dan yang
sementara?"
Benar, begitulah ia pernah bertanya.
(Untuk Frida Kahlo - Goenawan Mohamad)



Endah Sulwesi 24/7

Saturday, July 16, 2005

[B] 1984



Penulis George Orwell
Penerjemah Landung Simatupang
Penerbit BENTANG (PT Bentang Pustaka)
Tahun 2004, cetakan kedua
Tebal 585 hal

Winston Smith, lelaki berusia 39 tahun itu, adalah seorang pegawai negeri di Departemen Catatan di bawah Kementerian Kebenaran. Tugasnya sehari-hari adalah memasok warga negara Oceania dengan surat kabar, film, buku, drama, novel, syair, dan segala jenis hiburan yang sesuai dengan keinginan Partai. Dalam Departemen ini, ada bagian-bagian yang kerjanya menyusun daftar buku dan jurnal yang harus ditarik dari peredaran. Ada gudang-gudang besar tempat menyimpan seluruh dokumen yang telah dikoreksi, dan ada tungku besar di mana dokumen-dokumen yang asli dilenyapkan. Semuanya harus sesuai dengan petunjuk Partai.

Ya, Oceania pada waktu itu, 1984, adalah satu negara di bawah kekuasaan partai tunggal dengan seorang pemimpin yang dipanggil dengan sebutan Bung Besar. Setiap sudut tempat dipasangi kamera dan mikrofon tersembunyi. Gunanya adalah untuk mengamat-amati setiap gerak-gerik warganya. Segala hal ada dalam pengawasan dan kontrol Partai yang ketat. Semua harus tunduk pada peraturan Partai. Acara televisi, siaran radio, surat kabar, film, bahkan sejarahpun harus ditulis menurut kehendak Partai. Negara/Partai berkuasa mutlak atas rakyatnya. Seluruhnya harus sama dan seragam. Jika ada yang berani berbeda, akan segera diuapkan.

Sepanjang hidupnya, Winston telah berusaha menjadi warga negara yang baik dengan mematuhi setiap aturan dan perintah Partai, meski dalam hati dan pikirannya bersemayam perlawanan serta antipati terhadap kediktatoran itu. Tentu saja - seperti warga yang lain - ia tak berani menyatakan perlawanannya secara terang-terangan. Ia tetap datang pada setiap acara Partai. Ia ikut berteriak dengan kepalan tangan meninju langit mengutuk Goldstein, seorang tokoh oposisi. Ia pura-pura bersemangat menyerukan puja-puji bagi Partai dan Bung Besar. Sampai suatu ketika Partai mengetahui kejahatan pikirannya.

Segera saja, gambaran tersebut membawa ingatan saya kepada tahun-tahun represif masa pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto dengan Golkar sebagai partai tunggal. Masa di mana terjadi pembreidelan beberapa surat kabar, pelarangan beredarnya buku-buku yang dianggap "kiri" atau terlalu "kanan" , penculikan para aktivis/demonstran, siaran televisi yang dimonopoli, diskusi-diskusi yang selalu diawasi intel, pertunjukan seni yang hanya boleh berlangsung jika isinya mengelu-elukan penguasa, slogan puja-puji, sampai dengan pembantaian terhadap kelompok/golongan yang dianggap menentang pemerintah (Dalam skala yang sedikit berbeda, pernah juga hal-hal tersebut di atas dilakukan oleh Soekarno). Begitu miripnya dengan fantasi Orwell tentang Oceania, bukan?

Oceania memang hanya negeri khayalan dalam kisah karya George Orwell ini. Namun, imajinasi yang demikian mencengangkan ini, telah dilukiskan dengan bagusnya sehingga seolah-olah nyata. Suasana dan situasi serba mencekam berhasil dihadirkan ke dalam pikiran kita, menimbulkan rasa ngeri dan terteror. Menggedor-gedor rasa kemanusiaan dan keadilan kita.

Novel ini terbit pertama kali tahun 1949, di mana waktu itu di London, tempat kisah ini ditulis, tengah terjadi gejolak masyarakat Inggris di bawah pemerintahan Partai Buruh, ditambah pula dengan ancaman Nazi Jerman yang meluas ke seluruh daratan Eropa. Lewat tokoh Winston, Orwell mengisahkan kejadian-kejadian (fiktif) tentang kekejaman sebuah rezim diktator yang bengis dengan penguasa sewenang-wenang. Nineteen Eighty-Four adalah novel (politik) yang sarat kritik sosial. Dan Landung Simatupang menerjemahkannya dengan amat baik. Novel Orwell lainnya yang juga sangat terkenal adalah Animal Farm (1945)

Dalam kehidupan real sudah banyak contohnya, bahwa ketika sebuah pemerintahan telah menjelma tirani, tinggal tunggu saja kejatuhannya.

Thursday, July 07, 2005

[E] Kumpul Di Pameran Buku Jakarta 2005

Berangkat dari kesamaan minat pada sastra, hari itu, Sabtu, 2 Juli 2005, beberapa orang anggota milis Klub-Sastra, berjanji untuk bertemu di arena Pesta Buku Jakarta 2005. Pertemuan yang digagas oleh Gangsar Sukrisno atau akrab dipanggil Kris itu, berlangsung - seperti rencana semula - pada pukul 13 di stan Mizan yang hari itu diumumkan sebagai pemenang stan terbaik.

Agenda acara pertemuan hari itu adalah perkenalan alias kopi darat sekaligus membicarakan kemungkinan terbentuknya sebuah klub sastra (klub baca). Yang hadir pertama kali tentu saja sang empunya rumah, Kris. Blio sudah nongkrong di markas Mizan sejak jam 10 pagi. Berbusana (cieeee..) batik casual warna coklat kekuningan, pantalon krem, serta berkaca mata, Kris sempat membuatku terkejut, karena ia tampak lebih "montok" (hehehe) dari pertama kami jumpa dulu (tahun berapa ya Kris?), saat diskusi buku Sejarah Tuhan (Karen Armstrong) di Teater Utan Kayu. Yang tak berubah padanya adalah semangatnya yang tetap menyala-nyala kalau sudah menyangkut perbukuan. Maklumlah, bapak dua orang anak ini kan memang seorang pencinta buku yang cukup gila di samping sibuk ngopeni bonsai dan ikan-ikan hiasnya.

Aku sendiri tiba di sana sekitar jam 12. Putar-putar dulu sebelum menemui Kris. Ketika akhirnya ketemu, Kris tengah asyik berbincang dengan seorang pria muda berbatik pula. Aku tadinya sempat ragu, jangan-jangan aku salah alamat, masuk ke tempat resepsi, karena kok pada pake batik. Hehehe. Kris lalu mengenalkanku pada lelaki yang ternyata kawannya dari milis PasarBuku. Mungkin teman-teman ada yang telah mengenalnya. Dialah Win (maaf, aku lupa lengkapnya).


Ersta, Ayu, Endah, Kris

Tidak lama kemudian, muncullah Ayu, cewek manis berkerudung pemilik blog romantis : NyanyianHujan. Ayu datang, di samping untuk ikutan ngobrol, juga untuk ngeborong buku-buku murah buat toko buku impiannya dan juga perpustakaan kecilnya di Bogor.

Selang beberapa saat, telponku berbunyi. Ternyata Dhikayang nelpon, memberitahu bahwa ia telah ada di lokasi. Iapun lalu bergabung. Sofa yang hanya ada empat buah itupun hanya tinggal satu yang kosong. Ternyata Dhika lebih besar dari yang kubayangkan. Aku jadi tampak mungil sekali hihihhi.


Ersta dan dua putrinya yang bening...:)

Maka, sambil menunggu Ersta yang berjanji akan datang juga, kami mulai acara ngobrol-ngobrol itu - setelah saling berkenalan.- dalam suasana santai (tapi katanya Ayu sempat bete, karena ia sudah nggak sabaran untuk segera ngeborong) Di tengah diskusi, nongollah Ersta dengan pasukan putrinya yang cantik-cantik (heran Ers, itu anak kamu bukan ya, kok bening-bening gitu sih, ga kayak kamu yang agak-agak coklat hehehe) Dengan hadirnya Ersta, obrolan jadi tambah asyik.

Ketika pembicaraan hampir sampai pada klimaksnya, datang "gangguan" dari dua orang karib Kris. Mereka cukup lama menjadi selingan diskusi sampai nyaris saja aku pamit untuk pergi sebentar menemani Ayu menyalurkan hasrat belanjanya yang menggebu-gebu itu. Namun, bersamaan dengan itu, pasangan tersebut juga pamit. Mau lihat peluncuran novel Imperia, kata mereka.


Budi dan Ayu

Menjelang selesai, datanglah Budi Setiono. Aku memang mengundangnya. Secara singkat aku menguraikan hasil diskusi kecil itu kepadanya. Kira-kira jam setengah tiga, diskusipun ditutup dengan kesimpulan yang hasilnya telah dimuat di milis kita.

Demikianlah. (perca)