x Klub Sastra Bentang: Review Misteri Air Mata Jerapah

Sunday, June 04, 2006

Review Misteri Air Mata Jerapah

Air mata jerapah? Rasanya kita di Indonesia tak pernah mendengar istilah itu. Ada juga air mata buaya, yaitu istilah untuk menyatakan kepura-puraan seseorang menangisi kesedihan atau kemalangan orang lain. Karena pura-pura sedih - sebab sebenarnya ia justru bahagia atas kemalangan tersebut - maka air mata yang diteteskannya itu disebut air mata buaya.

Tentang air mata jerapah, ternyata itu ada ceritanya sendiri di benua Afrika sana, tepatnya di Botswana. Para wanita di sana percaya, bahwa jerapah telah memberikan air matanya untuk mereka anyam menjadi hiasan pada keranjang-keranjang bikinan mereka. "Jerapah memberikan air matanya pada para wanita dan mereka menganyamnya dalam keranjang. Ini berarti, kata Mma Ramostwe, bahwa kita semua bisa memberikan sesuatu. Seekor jerapah tak memiliki apa-apa untuk diberikan - hanya air mata" (hlm368)

Bagi pembaca yang telah pernah mengikuti serial pertama novel detektif ini - Kantor Detektif Wanita No.1 - nama Mma Ramotswe tentu tak asing lagi. Dialah si wanita detektif bertubuh gemuk; wanita detektif pertama di Botswana. Bermodalkan uang warisan mendiang ayahnya, Mma Ramotswe mendirikan kantor detektif swasta di Gaborone. Profesi yang sangat tidak lazim bagi seorang perempuan di sebuah negeri dengan budaya patriarki yang kental.

Setelah sukses menyelesaikan kasus-kasus ringan dan berat pada buku pertama, kali ini Mma Ramotswe hanya menangani dua kasus saja, yaitu : kasus Ny.Curtin yang mencari tahu keberadaan putranya yang hilang sepuluh tahun lalu serta kasus perselingkuhan istri Mr.Badule.

Kasus Ny. Curtin merupakan kasus terberat, sebab peristiwanya terjadi sepuluh tahun yang lalu. Putra tercintanya, Michael, tiba-tiba lenyap begitu saja di Molepolole, sebuah desa pertanian yang menjadi proyek percobaan dengan dana bantuan dari Ford Foundation.

Proyek pertanian skala kecil ini melibatkan banyak orang, termasuk Oswald Ranta, ahli ekonomi dari sebuah universitas di Botswana dan Michael Curtin, seorang pemuda Amerika yang tertarik budaya Afrika sehingga memutuskan untuk tinggal lebih lama lagi di desa tersebut walaupun orang tuanya memintanya pulang.

Sebenarnya bukan hanya Afrika yang telah membuat Michael jatuh hati, tetapi cintanya pun telah tertambat pada Carla Smit, gadis Afrika Selatan yang juga terlibat dalam proyek idealis tersebut. Terjalinlah roman cinta di antara mereka meskipun Carla Smit seorang perempuan yang usianya jauh lebih tua dari Michael.

Namun, diam-diam Carla Smit berselingkuh, membina hubungan cinta lain dengan Oswald Ranta, lelaki hidung belang yang sering merayu dan melakukan pelecehan seksual terhadap mahasiswinya.

Mma Ramotswe mencium adanya keterkaitan antara kisah cinta segitiga itu dengan raibnya Michael. Ia pun lalu memusatkan penyelidikannya pada si lelaki perayu, Oswald Ranta, dan menyusuri kembali jejak-jejak peristiwa sepuluh tahun silam di desa yang berbatasan dengan Gurun Kalahari itu.

Sebagaimana halnya pada buku pertama, sisi paling menarik dari novel detektif ini justru bukan kisah detektifnya, melainkan kisah kehidupan Mma Ramotswe, sang tokoh utama. Pada buku kedua ini, hubungan cinta Mma Ramotswe dan Mr.J.L.B Matekoni, sang mekanik yang baik hati itu, semakin hangat. Pertunangan mereka "diresmikan" dengan pemberian sebentuk cincin berlian untuk Mma Ramotswe. Mereka juga mengadopsi sepasang anak yatim piatu dari panti asuhan dan merencanakan pernikahan sesegera mungkin.

Tunangan Mma Ramotswe ini di buku kedua mendapat porsi lumayan besar. Ia bujangan lugu, jujur, dan sangat bangga pada profesinya sebagai mekanik. Menurutnya, menjadi mekanik adalah suatu seni yang, idealnya, dipelajari seseorang dari ayahnya. Seperti Yesus yang belajar jadi tukang kayu. Pikirnya, jika saja Yesus datang hari ini, Dia mungkin akan menjadi seorang mekanik. Dan tak diragukan lagi, Ia akan memilih Afrika, mungkin Botswana, sebab Israel sangat berbahaya belakangan ini (hlm.248)

Begitulah, masih tetap mengandalkan selera humornya yang cerdas, Alexander McCall Smith menjadikan novel ini sebuah kisah detektif yang segar dengan perspektif berbeda dibanding novel-novel detektif (klasik) yang telah ada lebih dulu (misalnya, karya Agatha Christie atau serial Sherlock Holmes). McCall Smith, selain menyuguhkan kisah misteri, juga mengangkat persoalan jender dan isu feminisme berlatar budaya Afrika, khususnya Botswana, negeri tempat ia bertemu wanita yang kini menjadi istrinya.

Setting Botswana dengan segala keunikannya menjadi daya pikat tersendiri dan lebih memperkaya novel ini. Budaya, tradisi, pesona flora dan fauna serta perilaku masyarakatnya merupakan sebuah tamasya bacaan yang sungguh eksotis. Rasanya masih sedikit sekali novel (fiksi) - baik karya asli ataupun terjemahan - berlatarbelakang Afrika yang beredar di Indonesia, oleh karenanya Misteri Air Mata Jerapah bisa melengkapi yang sedikit itu, membuka cakrawala dan menambah wawasan pembaca tentang Afrika.

Lewat penggalan-penggalan ajaran moralitas kuno Botswana, McCall Smith memberi wejangan moral kepada para pembacanya tanpa menggurui. Botswana dan Afrika umumnya yang sering dipandang sebagai sebuah dunia "tak beradab", ternyata menyimpan kearifan-kearifan lokal tersembunyi, cantik bagaikan berlian.

McCall Smith juga, secara bergurau, kerap menyindir bangsa Barat yang selalu merasa paling tahu, bahkan untuk persoalan-persoalan orang Botswana. Contohnya, proyek pertanian Ford foundation yang gagal itu. Orang-orang Amerika dan Jerman itu yakin betul bahwa mereka bisa menanami gurun Kalahari yang gersang itu dengan tanaman sejenis tomat dan sayur-sayuran. Caranya adalah dengan menanam tanaman tersebut di bawah jaring peneduh dan mengairinya dengan tetesan air melalui serat-serat benang. Benang-benag itu dipasang pada sebuah pipa kecil dan tetesan air mengalir melalui benang itu, meresap ke dalam tanah sampai ke akar tanaman (hlm.51)

Mulanya cara tersebut benar-benar berhasil. Namun, selanjutnya gagal total. Sayur-sayuran tak mungkin bisa ditanam di Kalahari. Hanya tanaman-tanaman tertentu saja yang dapat tumbuh di sana, tanaman khas daerah gurun tentu. Bukan semacam tomat dan selada.

McCall Smith sendiri adalah pria Skotlandia kelahiran Zimbabwe dan seorang profesor bidang hukum di Universitas Edinburgh. Dia pernah tinggal dalam waktu yang cukup lama di Botswana. Seri ketiga dari kisah ini, Moralitas bagi Gadis-gadis Cantik, akan segera menyusul terbit. Bagi yang ingin menikmati (dan menghibur diri dengan) sebuah kisah detektif yang segar tanpa sedikitpun membuat kening berkerut, novel ini adalah pilihan yang tepat.

Endah Sulwesi
www.perca.blogdrive.com